Riza Zacharias | Syaamil Quran | Subuh Menggapai Keberkahan

Ustadz KH. Luqmanulhakim membuka pengajian bakda subuh pada hari Kamis (3/2/2022) dengan berdoa agar kita semua diberikan ilmu untuk bisa membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar, diberikan ilmu untuk bisa memahami Al-Qur’an dengan baik dan benar, serta diberikan ilmu untuk bisa mengamalkan Al-Qur’an dengan baik dan benar. Jadi … kata kuncinya adalah membaca, memahami, dan mengamalkan Al-Qur’an dengan baik dan benar.

Mengapa baik dan benar? Ini karena Al-Qur’an itu diturunkan dalam bahasa Arab dimana setiap kata-katanya mengandung arti yang berbeda. Bisa jadi ada orang yang baik bacaan Al-Qur’annya tetapi belum tentu benar, atau sebaliknya benar membaca Al-Qur’annya tetapi belum baik. Berbicara tentang Al-Qur’an di Indonesia maka tidak akan lepas dari Syaamil Quran, salah satu penerbit dan percetakan Al-Qur’an dari Bandung.

Telah hadir di Masjid Munzalan Ashabul Yamin Pontianak, dua orang yang membidani Syaamil Quran dari awal hingga saat ini, yaitu Riza Zacharias (Founder & Chairman Syaamil Group) dan Halfino Berry (Co-Founder & Co-Chairman Syaamil Group). Mereka sudah berpengalaman selama 25 tahun membangun perusahaan dari hanya mencetak buletin Jumat, buku-buku keislaman, hingga mencetak dan mendistribusikan Syaamil Quran.

Riza Zacharias yang pernah menulis buku ‘Kepemimpinan Jalan Langit‘ dan Bisnis Jalan Langit‘ langsung mengatakan, “Innalillahi wa innailaihi rajiun.” Itu karena dirinya tiba-tiba diminta untuk berbicara di acara Subuh Menggapai Keberkahan (SMK) tentang pengalamannya membangun Syaamil Quran. Beliau mengakui betapa dahulu begitu bodoh hingga akhirnya diingatkan untuk kembali ke jalan yang lurus.

Seorang Muslim terkadang atau sering menabrak-nabrakkan sesuatu yang tidak perlu. Misal perkataan, “Ah, saya mah begini aja.” Ini hanya sebagai pembenaran atas kemalasannya. Kesannya seperti qanaah atau bersyukur dengan apa adanya. Akan tetapi kalau hal tersebut tidak relevan dengan usaha atau prosesnya, bisa jadi itulah pembenaran atas kemalasannya atau ketakutannya. Seharusnya, seorang Muslim itu harus bermimpi besar, tapi bukan halu.

Ada perbedaan besar antara bermimpi besar dengan halu. Mimpi itu adalah sebuah keinginan yang dipikirkan, dan kemudian diikuti dengan usaha yang maksimal. Misal bermimpi ingin naik haji, tentu proses awalnya adalah buka tabungan haji berapa pun rupiah yang disetorkan. Sedangkan halu hanya mimpi semata, tanpa dibarengi dengan usaha. Okelah niat kebaikan akan langsung dicatat, tetapi akan lebih baik lagi jika niat itu pun segera dilaksanakan.

Nabi Muhammad saw. diberikan risalah untuk menyebarkan Islam yang rahmatan lil’alamin. Artinya … Islam itu diturunkan tidak hanya untuk umat Muslim saja, tetapi untuk seluruh makhluk di dunia ini. Manusia dan makhluk-makhluk lainnya, yang hidup maupun yang tidak hidup. Sebuah mimpi yang sangat besar. Hidup harus mulia dan mati pun harus husnul khatimah. Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qinna adzabannar.

Seorang Muslim itu sudah diajarkan untuk meminta yang tidak nanggung. Pertama, kebaikan di dunia. Kedua, kebaikan di akhirat. Ketiga, dilindungi dari siksa neraka. Mengapa masih ada permintaan di poin ketiga? Karena orang yang masuk surga belum tentu langsung masuk ke dalam surga, tetapi harus ‘mampir dulu’ ke neraka. Allah Swt. mengajarkan agar seorang Muslim itu juga harus meminta agar dilindungi dari siksa neraka. Jangan berharap mampir.

Bermimpi besar! Salah satu rukun Islam adalah pergi haji, termasuk semua umat Muslim yang ada di Indonesia yang biayanya tidak murah dan antriannya pun banyak. Dari sini saja Allah sudah mengajarkan agar Muslim itu harus punya uang. Jangan kalah dengan iblis yang saat diusir dari surga saja meminta keringanan kepada Allah Swt., yaitu tidak mati sampai hari Kiamat dan diperbolehkan menggoda manusia dari empat arah.

Jadi, bermimpi besarlah! Bermimpi setinggi-tingginya untuk menjadi seorang Muslim yang berhasil di dunia dan akhirat. Bermimpi yang bukan halu atau panjang angan-angan. Bermimpi yang dilanjutkan dengan usaha yang maksimal dan tidak setengah-setengah. Perkuat fundamental atau dasarnya terlebih dahulu, yaitu akidah dan akhlak. Baru kemudian mempelajari ilmu-ilmu turunannya dari sumber yang tepercaya. Utamanya adalah Al-Quran dan Hadits.[]

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x