Bekerja adalah aktivitas yang wajib dilakukan bagi seorang laki-laki dewasa. Selain untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, juga untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Bagi lelaki Muslim, hal ini tentu harus digarisbawahi karena begitu pentingnya. Begitulah menurut Ust. Ardiansyah A. Hussein dalam Kajian Islam Intensif (KII) edisi Jumat, 4/2/2022.
Ada 62 kata ‘Al-Kasb‘ terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti yang berbeda, misalnya saja bekerja, berusaha, dan seterusnya. Kata yang berulang-ulang itu sudah pasti memiliki makna yang penting untuk diperhatikan. Inilah pentingnya untuk menjadi Muslim yang mandiri. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d, 13: 11)
Mandiri itu artinya tidak bergantung kepada orang lain. Semua dikerjakan sendiri dan sebagai kepala keluarga, seorang Muslim tentu dituntut untuk bisa menafkahi dirinya sendiri dan keluarganya. Namun demikian, kemandirian itu tidak berarti tidak membutuhkan bantuan orang lain. Bekerja secara tim atau bekerja di dalam sebuah perusahaan tetap membutuhkan kerjasama, tetapi hasil kerjanya (gaji) adalah sebuah kemandirian untuk keluarganya.
Syekh Yasir Abdurrahman dalam bukunya yang berjudul Mausu’at al-Akhlaq wa az-Zuhd wa ar-Raqaiq mengutarakan bahwa sikap tidak enteng meminta-minta sekalipun tengah butuh merupakan salah satu bentuk akhlak yang mulia dalam Islam. Ini disebut dengan ta’affuf. Ta’affuf berasal dari kata iffah yang bermakna menahan diri dari segala perkara yang haram.
Sifat mulia ini dipegang erat oleh para sahabat Rasulullah saw. Itulah mengapa mereka tidak berpangku tangan atau berleha-leha. Salah satu kisah yang paling mahsyur adalah Abdurrahman bin Auf yang saat hijrah ke Madinah dipersaudarakan dengan Sa’ad bin Rabi Al-Anshari, orang kaya diantara penduduk Madinah. Sa’ad berniat membantu saudaranya dengan sepenuh hati, namun ternyata Abdurrahman menolak.
Ia hanya berkata, “Tunjukkanlah padaku di mana letak pasar di kota ini!” Sa’ad kemudian menunjukkan padanya di mana letak pasar. Maka mulailah Abdurrahman berniaga di sana hingga kemudian menjadi orang kaya di Madinah. “Sungguh, pikulan seikat kayu bakar di atas punggung salah seorang kamu (lantas dijual) adalah lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang lain, entah itu diberi atau tidak diberi.” (HR. Al-Bukhari)
Menjadi Muslim yang mandiri itu pun mudah, yaitu disesuaikan dengan kemampuannya. Disesuaikan dengan apa yang ia kuasai. Tidak perlu memaksakan diri pada hal yang tidak mampu dilakukan. “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya.” (QS Al-Baqarah, 2: 286)
Termasuk perbuatan yang mulia jika seorang laki-laki mencari nafkah yang halal dengan usaha mereka sendiri. Tentunya usaha yang halal ini tidak bertentangan dengan sifat zuhud dan tidak melalaikan manusia dari mengingat Allah Ta’ala, mendirikan shalat, dan tentu saja bersedekah. “Orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat.” (QS An-Nur, 24: 37)
“Mulailah dari dirimu sendiri. Sedekahkanlah untuk dirimu. Selebihnya untuk keluargamu (anak dan istrimu). Selebihnya lagi untuk kerabat dekatmu. Selebihnya lagi untuk tujuan ini dan itu yang ada di hadapanmu, yang ada di kanan dan kirimu.” (HR. Muslim)
“Kedua kaki seseorang tidak akan beranjak dari tempatnya kecuali setelah ditanya tentang empat hal: umurnya, untuk apa saja dihabiskan? Ilmunya, apa yang telah dia amalkan? Hartanya, dari mana dia mendapatkannya dan ke mana dia infakkan? Dan, badannya, apa yang telah dia gunakan?” (HR At-Tirmidzi)