
Analogi pada tanaman yang jika tidak disirami dengan air, maka akan layu, kering, bahkan bisa mati. Begitulah dengan hati manusia dan keimanannya. Iman itu bersifat naik dan turun. Naik dengan melaksanakan ketaatan dan turun dengan kemaksiatan. Hati adalah penggerak bagaimana empu-nya bertindak. Jika hatinya hidup, maka akan menumbuhkan kebaikan. Jika hatinya mati, maka yang terjadi adalah sebaliknya.
Ilmu adalah air yang menumbuhkan tanaman, membuatnya segar kembali, tumbuh dan menghasilkan buah yang sehat. Maka perlu ilmu sebagai pembaharu hati yang mungkin sudah lelah, layu dan kering. DKM Asy-Syaamil menyelenggarakan Kajian Islam Intensif (KII) bertema “Ramadhan Bulan Keberkahan” yang dihadiri oleh seluruh civitas secara virtual melalui zoom meeting pada hari Jum’at 8 April 2022/06 Ramadhan 1443 H.
Ust. Darlis Fajar membuka dengan ungkapan syukur dan shalawat. Pun sudah melayangkan sebuah pertanyaan, yang bisa jadi pertanyaan tersebut adalah sebuah sindiran dan pengingat bagi jiwa yang lupa. Bahwa Ramadhan sudah pasti/mutlak sebagai bulan yang penuh dengan keberkahan. Yang menjadi pertanyaan adalah “Mau tidak kita mengambil keberkahan tersebut?”
Maka untuk mengambil keberkahan tersebut ada syaratnya. Termaktub dalam Al-Quran, surah Al-A’raf ayat 96. “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan, maka kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.”
Syarat yang Allah perintahkan hanya dua, yaitu Iman dan Takwa. Dijelaskan kembali mengenai Iman dalam surah Al-Hujurat ayat 14, bahwa iman saja belum cukup tetapi harus disertai dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka yang harus kita lakukan untuk meraih keberkahan adalah beriman kemudian berusaha menjadi orang yang bertakwa melalui sebuah proses. Proses tersebut adalah ketaatan.
Setiap detik di bulan Ramadhan adalah bernilai berkah. Tetapi tidak banyak orang yang mau mengambilnya. Rasulullah mengatakan bahwa betapa banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa (pahala) kecuali hanya lapar dan haus saja. Betapa banyak orang di bulan Ramadhan justru malah disibukkan dengan memikirkan menu sahur dan berbuka puasa. Berbuka dengan berlebihan, padahal yang Rasul teladankan adalah berbuka secukupnya.
Dalam surah Al-Adiyat ayat 1-6 dikisahkan sebuah kuda yang sangat manut pada perintah tuannya, tidak pernah sekali pun lalai pada perintah tuannya. Hal itu dikarenakan tuannya-lah yang memberinya makan. Tetapi dalam ayat tersebut ada sindiran untuk manusia, bahwa manusia membangkang kepada Allah. Padahal Allah-lah yang mencukupi setiap kebutuhannya, dan Allah-lah pemilik langit dan bumi. Dan yang membuat mereka membangkang adalah karena manusia cinta pada harta.
Sifat orang-orang shalih yaitu “sami’na wa atha’na” kami mendengar dan kami taat. Dan bertakwa sesuai dengan kemampuan, karena Allah tidak membebani hambanya lebih dari batas kemampuannya. Maka yang dimaksud dengan kesanggupan atau kemampuan adalah ketika kita sudah melakukan ketaatan dengan maksimal, ketika kita sudah merasa berada di titik puncak batas kesanggupan diri dalam melaksanakannya.
Apa yang kita lakukan maka itulah yang akan kita dapatkan. Memilih menyia-nyiakan Ramadhan dengan kelalaian atau meraih keberkahan dengan ketaatan? Diri sendirilah yang tentukan. Mari bertindak! Sebelum kesempatan emas ini berakhir. Ramadhan akan selalu ada, sedangkan kita belum tentu masih ada di dunia ini pada Ramadhan berikutnya.[]
Yaa Robb… Berkahi kami di Bulan Ramadhan, dan sampaikan usia kami ke Ramadhan berikutnya, Aamiin…
Amiiin….