KII | Kajian Islam Intensif | Arifin Purnomo | Sejarah Mushaf Al-Quran

Seperti biasa, Kajian Islam Insentif dimulai dengan membaca 10 (sepuluh) ayat pertama Surah Al-Kahfi. Ini berdasarkan uraian dari Abu Darda ra. yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang membaca sepuluh ayat pertama surah Al-Kahfi, dia akan terlindungi dari Dajjal.” (HR Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ahmad, Hakim, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi, Al-Baghawi)

Ust. H. Arifin Purnomo memulai cerita dengan mundur ke zaman para sahabat Rasulullah saw. yang memberi saksi bahwa beliau adalah seorang yang ummi atau buta huruf. Lalu secara bertahap beliau mendapatkan ayat-ayat Al-Quran melalui perantara Malaikat Jibril. Al-Quran ini kemudian dikumpulkan oleh salah satu sahabat Nabi, yaitu Zaid bin Tsabit, dari berbagai media seperti kertas, tulang, kulit hewan, bagian dari tumbuhan, dan lain-lain.

Pengumpulan ini atas anjuran Umar bin Khattab kepada Khalifah Abu Bakar Shiddiq karena kekhawatiran semakin banyaknya para sahabat penghafal Al-Quran yang gugur di medan perang. Mushaf yang belum lengkap tersebut kemudian disimpan hingga zaman Khalifah Umar bin Khattab dan terus dijaga oleh Hafshah binti Muhammad. Atas anjuran Hudzaifah ibnul Yaman, mushaf yang disimpan putri Rasulullah saw. itu kemudian disusun oleh tim Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Ibnu Abbas, dan Abdullah bin Haris ke media kertas.

Hasilnya adalah mushaf utuh yang belum diberi tanda-tanda berupa titik, harakat, dan seterusnya. Benar-benar masih tulisan Arab gundul. Mushaf inilah yang disebut sebagai Rasm Ustmani. Lalu pada zaman Khalifah Ali bin Abu Thalib, seorang pemuka tabi’in bernama Abu Aswad Ad-Duali menyampaikan kekhawatirannya atas bacaan Al-Quran yang tidak sesuai harakat karena memiliki arti yang berbeda. Khalifah Ali kemudian memerintahkan Abu Aswad Ad-Duali untuk memberikan harakat berupa titik, belum sempurna.

Baru kemudian Al-Khalil ibn Ahmad Al-Farahidi menyempurnakan mushaf Al-Quran dengan memberikan titik sebagai pembeda huruf dan harakat seperti yang kita kenal saat ini. Seorang ulama Palembang bernama Haji Muhammad Azhari bin Kemas Haji Abdullah pernah mencetak mushaf Al-Quran pada tahun 1848. Ini jauh sebelum Al-Quran cetakan Singapura, India, dan Turki masuk ke Indonesia. Al-Quran Palembang ini mengalami cetak ulang pada tahun 1854, lalu disebarkan ke negeri-negeri muslim Nusantara.

Hingga kemudian Al-Quran cetak Singapura masuk pada 1868, Al-Quran cetak Turki masuk pada 1881, dan Al-Quran cetak India masuk pada 1885. Baru pada 1933 mulai bermunculan dua penerbit Al-Quran seperti Maktabah al-Misriyah Abdullah Afif di Cirebon dan Matba’ah Islamiyah di Bukittinggi. Pada 1934 muncul juga Penerbit Visser & Co dan TB Ab Sitti Sjamsijah di Solo. Mushaf Al-Quran cetakan Afif Cirebon mengalami cetak ulang pada 1951. Mushaf inilah yang kemudian diacu oleh tim Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran tahun 1974 untuk merancang dan menyusun mushaf Standar Indonesia.

Baca juga :

Mushaf Syaamil Quran Terbukti Halal

Alhamdulillah Syaamil Group ditakdirkan bisa menerbitkan mushaf Al-Quran yang diberi label Syaamil Quran pada awal tahun 2000-an. Pada 2013, Syaamil Group resmi meluncurkan program Wisata Quran pertama yang ada di Indonesia dan dilanjutkan menjadi Kampung Wisata Quran pada 2019. Jadi, secara tidak langsung, Syaamil Quran menjadi salah satu titik dari sejarah panjang mushaf Al-Quran dari awal hingga saat ini. Ingatlah bahwa para karyawan di Syaamil Group bukanlah nabi atau ulama. Maka bersyukurlah akan nikmat yang telah diberikan ini dengan konsiten membaca Al-Quran.

Kemampuan membaca (yang awalnya standar) pun harus terus ditingkatkan dengan cara membaca yang baik dan benar (tahsin). Setelah itu dilanjutkan lagi dengan menghafalnya (tahfiz). Pada akhirnya kita semua harus bisa mengamalkannya. Manusia diberikan usia yang terbatas, oleh karena itulah diharapkan agar kita semua mengisi usia ini dengan mempelajari Al-Quran. Jangan pernah berhenti.

Al-Quran sebagai pedoman hidup manusia adalah firman Allah Swt. Al-Quran itu sempurna. Jadi, sudah selayaknya kita harus menjaga adab-adab dalam memuliakan Al-Quran. Salah satunya adalah menempatkan mushaf Al-Quran pada tempat tertinggi. Jika ada rak buku maka tempatkan Al-Quran pada rak tertinggi. Usahakan jangan meletakkan Al-Quran di lantai. Cara membawanya juga begitu, harus dengan takzim, semisal menempelkan Al-Quran di bagian dada. Termasuk menjaga wudhu saat memegangnya.

Sebagai penutup, adab memuliakan Al-Quran berkaitan dengan isinya, yaitu tidak boleh mengurangi atau menambahkan ayat-ayatnya. Tidak boleh berdebat tentang isi Al-Quran. Termasuk juga tidak boleh menafsirkannya sesuai ego masing-masing tanpa dibarengi dengan ilmu. Sebagai orang awam, ada baiknya kita tinggal mengikuti apa yang dikatakan oleh para ulama. Ulama yang menyandarkan hidupnya pada Al-Quran dan Hadist.

Ada tips dari Ust. H. Arifin Purnomo agar kita bisa konsisten membaca Al-Quran. Pertama adalah menyediakan waktu khusus untuk membacanya. Kedua, selingi dengan aktivitas lainnya yang bermanfaat seperti berzikir kalau merasa bosan/jenuh. Ketiga, percayalah bahwa Al-Quran akan membuka tirai/rahasianya pada orang yang mencintainya. Sebagai tambahan motivasi, ingatlah pada orangtua kita dan anak-anak kita.

Berilah orangtua kita sebuah mahkota yang cahayanya lebih terang dari matahari dan pakaian kemuliaan dengan menjadi seorang Ahlul Quran. Jadilah orang pertama yang mengajari anak-anak kita membaca Al-Quran. Misalnya saja membaca Al-Fatihah dengan baik dan benar, maka anak akan membacanya minimal 17 kali dalam sehari sepanjang hidupnya. Insya Allah pahalanya akan mengalir ke kita juga. Wallahu’alam bi shawab.[]

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x